Daftar Isi [Tampil]
Di pinggiran kota ini kami berbaur
dalam keramaian perayaan tahun baru. Terompet-terompet berteriak bising.
Kembang api berpendaran di langit kota. Ratusan manusia tumpah ruah di jalan
raya, perempatan, taman-taman, bahkan di pinggir sawah dan sungai dalam keremangan
bersama pasangannya.
Di sini, di sisi taman kota kami
berdua bersenda gurau dalam keceriaan. Suara petasan dan kembang api, pijaran
bunga-bunga api di langit kota menghiasi malam kami, seindah bunga-bunga yang
berpijar dalam hati kami. Hembusan angin malam, suara jangkrik, ditingkah
nyanyian burung malam menemani kami berdua, menjadi saksi keceriaan ditingkah
kebahagian yang tak tergambarkan. Aku sendiri tidak akan bisa menjawab bila
engkau bertanya kenapa harus denga cara ini aku merayakan
tahun baru? Kenapa justru dalam keremangan pinggiran kota di tepi semak yang
bernyamuk harus kami rayakan pergantian tahun. Jangan tanya itu. Tak akan aku
jawab. Karena yang aku tahu aku dalam kebahagiaan saat ini. Dia pun begitu
adanya. Jangan tanya apa yang kami lakukan karena seharusnya engkau pun tahu
apa yang kami kerjakan. Tidak perlu kau bayangkan apa yang kami rasakan, karena
seharusnya engkau pun paham bagaimana perasaan kami.
Disini, di pinggiran kota, di semak
tepi sawah. Ditingkah suara jangkrik, orong-orong, dan nyanyian urung malam. Senandung
burung hantu. Bahkan suara tokek dari pinggiran bangunan tak bertuan. Semua
demi satu kata, merayakan tahun baru dengan cinta. Cinta satu kata dengan lima
aksara yang membingungkan para insan untuk menafsirinya. Biarkan kami dalam
keasyikan kami. Karena kami pun tahu bahwa di mana-mana akan sama. Mereka yang
bertebaran di tengah kota sana akan bermuara di sini. Atau di kamar-kamar hotel
maupun penginapan murahan di pinggiran kota. Tapi biarkanlah cukup kami disini
menikmatinya dalam paduan suara hewan malam di pinggiran kota di pinggiran
sawah.
Suara rayuannya mendesah syahdu di
telingaku. Nafasnya memburu dalam nafsu. Mata menjadi gelap di tambah suasana
sekitar yang memang tanpa cahaya. Inilah perayaan tahun baru!
***
Tiga bulan berlalu. Suasana tahun
baru sekejap hilang malam itu juga. Tetapi aku tidak akan pernah melupakannya.
Bagaiman aku akan lupa kalau kini aku telah terlambat datang bulan? Lalu
kemanakah dia yang menabur rasa dan benih dalam raga? Apakah semua ini untuk
sesuatu yang bernama cinta? Aku harus lakukan apa?
“ Sayang, kita akan menikah setelah
ini...” katamu malam itu.
“ Buktikan cinta dan sayangmu pada
malam tahun baru ini, sayang...” rayumu.
Tetapi kini ketika malam tahun baru
telah berlalu, begitu juga berlalulah kata-katamu. Sementara hasil dari malam
tahun baru masih mengendap dalam tubuhku. Mengendap membentuk manusia baru.
Menoreh aib di wajahku. Wahai kekasih hati kemanakah engkau saat ini?!!!
Aku hanya bisa berteriak benci di hadapan
cermin. Memandang benci pada bayangan di sana. Siapa engkau? Kenapa engkau kini
menyimpan benih? Mana cinta yang kau pertahankan? Untuk inikah segala perayaan
yang kau lakukan?
Tidak hanya ada tahun baru. Tetapi
ada hari-hari lain yang sudah kami
lewati bersama dalam kebahagiaan mengatas namakan cinta. Sudah berkali dia
merenggut tubuhku. Di hari kasih sayang, di hari ulang tahunku dan ulang
tahunnya, di hari ulang tahun teman dan hari-hari lainnya.
Kini harus aku tanggung sendiri aib
ini. Semua telah terlambat, Kawan... Siapa yang suruh ia hadir dalam tubuhku?
Kenapa ia mengganggu kenikmatanku? Mungkin di sudut kehidupan sana banyak yang
senasib denganku. Ketika cinta diatas namakan dari segalanya. Ketika nafsu
telah merengkuh dua jiwa. Ketika akal telah hilang melintasi batas
kewarasannya. Bujuk rayu dalam desahan nafas, ditingkah permainan yang
menggiurkan. Semua tak akan terhalang apapun .Tetapi kini siapa juga yang
menganggung beban? Siapa yang pantas kumaki sebagai bangsat? Lelaki... bangsat
kau!!!!
***
Di sini di sudut kota, di tepi
sawah. Aku pandang lagi tempat kami merayakan tahun baru beberpa bulan lalu.
Saat malam yang penuh nafsu. Diiringi paduan suara hewan malam. Ditingkah suara
jangkrik di tepi sawah. Suar tokek. Gemerisik tikus sawah. Senandung burung
hantu. Desah nafas memburu. Rayuan membius jiwa.
Aku pandang lagi tempat itu. Terlintas
kenangan yang dulu terasa nikmat tetapi kini menjadi basi dalam aib dan
kebingungan. Harus bagaimana aku sekarang. Dulu dia katakan cinta dan sayang,
tetapi kini setelah tahu aku berbadan dua ia kabur tak tahu entah kemana.
Aaah... mulut lelaki sialan!! Jika kau percaya rayuan itu, ketahuilah kawan, ia
hanya rayuan setan. Bila sudah direguknya kenikmatan, maka benih itu akan
tinggal mengendap dalam badan. Atau malah kini kau lebih pandai dengan memakai
pengaman? Sama saja... kau ada BARANG BEKAS!!! Aku sudah bekas, sisa, buangan,
ampas, sepah. Hanya satu kata untuk kau dan aku yang senasib. Lelaki adalah
bangsat!!!
Di sini, di sudut kota. Di tepi
sawah ini aku buang benih yang ia titipkan. Dalam bungkusan plastik hitam
besar, terlindungi kardus makanan ringan. Selamat tinggal tahun baru.