Daftar Isi [Tampil]
Terbayang
di pelupuk matanya sang cucu yang menahan lapar. Terngiang di telinganya suara
gemuruh dari perut cucu semata wayangnya itu menggambarkan pemberontakan karena
dua hari tak tersentuh butiran nasi. Suara rintihan seakan sirine ambulan yang
terus mengetuk gendang telinganya…. “Kakek
aku lapar...” bisik cucunya lemah dengan menunjukkan wajah memelas. Bibirnya
telah pecah-pecah karena air mineral pun
tidak bisa didapat dengan cuma-cuma, sehingga telah dua hari pula tak tersentuh
setetes air.
Ia
melangkah gontai tanpa tahu harus berbuat apa. Mungkin sementara ini ia
melangkah pergi dengan meninggalkan janji akan membawa sebungkus nasi kucing
untuk si cucu. Hanya untuk menghindarkan telinganya dari suara
yang kian memelas. Dia berjalan gontai membawa tubuh renta yang tak lagi tegak.
Uban yang telah menutupi seluruh kepalanya menyembul dari balik topi lusuh.
Tak bisa ditipunya diri sendiri bahwa perutnya pun
telah demikian melilit seakan ada pisau yang
mengiris dinding lambungnya.
Dia
berjalan dan terus berjalan. Menuju kerumunan terminal kota. Hanya kakinya yang
menuntun ke sana untuk
menghilangkan suara sang cucu yang terus terngiang dan menembus otaknya. “Nasi!
Nasi! Nasi!” teriak suara hatinya. Mata tuanya nanar menatap hilir mudik para
penumpang, para calo, dan sesekali pedagang asongan yang berebut pembeli. Dia amati
tubuh renta yang dibawanya. Tidak mungkin aku ikut berebut penumpang seperti
para calo itu, pikirnya.
Lalu
matanya beralih mengamati para pedagang asongan yang hilir mudik dengan gesit. “Tak
juga aku mampu seperti mereka untuk berebut pembeli,” pikirnya kecut. Sepasang
mata tuanya beralih kepada seorang perempuan pengemis
di emper sebuah loket pembelian karcis. Hanya bermodal wajah lusuh dan sebuah
mangkok plastik. Kakinya beroleskan oli dan kotoran yang membuat orang merasa
kasihan. Nampak uang recehan dan lembaran ribuan mengisi mangkok itu. Ternyata si
pengemis tidak sendiri. Di sebelahnya tampak
seorang bocah dengan penampilan tak kalah kumuh, semakin menambah pesona sang
ibu untuk menarik recehan.
“Tidak!”
bisiknya pada diri sendiri. Tetapi rintihan dari dalam perut mengajak
mengatakan “Ayo!”.
“Tidak!!”
katanya menghilangkan tuntutan hina itu. “Tak akan aku kotori lencana
kehormatanku di sisi Tuhan dengan kehinaan. Seorang veteran perang kemerdekaan...,”
bisiknya dalam hati, “Harus mengemis untuk mendapat sesuap nasi? Oh….sudah
begini lupakah negeri ini dengan para pejuangnya? Atau mereka sudah begitu
makmur sehingga lupa akan seorang pejuang yang terus berjuang hingga akhir
hayatnya. Perjuangannya memerdekakan negeri, perjuangannya mempertahankan
negeri, hingga ia harus berjuang melawan para petugas yang menggusur rumah
kardus terakhirnya di bantaran kali.
Seorang
veteran perang kemerdekaan. Harus berjuang untuk bertahan hidup. Bersama
seorang cucunya. Ayah dan ibu anak kecil itu juga tak berhasil dia didik
untuk sedikit menghargai arti merdeka.
Tatapan
sang kakek beralih kepada beberapa pemuda gondrong dan lusuh yang menenteng
sebuah gitar. Tiga orang. Berjalan tanpa ragu menuju sebuah bis yang mulai
beranjak meninggalkan terminal. Samar-samar didengarnya lagu-lagu sampah keluar
dari mulut-mulut pemuda-pemuda itu. Sang kakek hanya bisa geleng kepala sembari
terus memegang perutnya yang tengah bergolak seakan gerakan revolusi
mengaduk-aduk lambung. Membuat matanya yang telah rabun makin berkunang-kunang.
“Yah….”pikirnya
kemudian, “Dengan seperti mereka paling tidak aku tidak terlalu hina dari pada
harus mengemis. Kalau dulu aku berjuang untuk mengusir penjajah, tetapi kali
ini aku berjuang untuk memerangi perutku sendiri. Para pemimpin negeri yang
berlimpah harta telah begitu sibuk untuk sekedar mendengar suara perut keroncongan
dari seorang kakek tua miskin sepertiku.”
Perlahan
ia menuju salah satu bis yang bersiap berangkat. Dengan langkah sempoyongan
menahankan rasa lapar, ia menyapa para penumpang yang memandang dengan sorot
mata kasihan.
“Maju
tak gentar...” suara
serak terputus-putus mulai keluar dari mulut tua. Napas sepotong-potong.
Terengah-engah. Coba dirampungkannya bait lagu perjuangan. Tak seperti ketika
ia muda dulu yang menyanyikan lagu itu dengan lantang. Pandangan mata dari para
penumpang itu mulai tidak mengenakkan hatinya. “Betapa hina diriku kini,”
bisiknya lirih dalam hati yang kian teriris. Sembari tetap menyanyikan
lagu-lagu perjuangan ia mulai menadahkan topi lusuhnya untuk menerima uang. Dan
lembaran-lembaran ribuan mulai nampak di depan
matanya. Binar kehidupan bangkit di sana.
Sesaat
kemudian kakek itu turun dari bis dengan gembira. Bungkuk badannya terasa
kembali tegak karena kegembiraan tak terkira.
Makanan, pikiran pertama yang terlintas. Sisa tenaganya seakan kembali
berlipat. Melangkah dengan tergesa
menuju terminal untuk segera pulang. Kembali terbayang wajah melas cucu tunggal
menanti sebungkus nasi. Kebahagian itu hanya sesaat. Dari ujung jalan
serombongan anak muda muncul dengan wajah garang. Mereka rupanya merasa kakek
tua telah merusak daerah operasi untuk mengais kepingan uang logam. Beginikah
negeri ini sekarang? Tanyanya tak habis pikir. Masing-masing kawasan telah
menetapkan daerah jajahan sendiri. Sesama anak negeri saling hantam dan saling
serang. Yang memiliki kawasan di jabatan pun
telah mengkapling daerah khusus korupsinya. Dengan mafia dan segala gengnya.
Yang di ranah hukum
berkuasa menjajah dari kawasan hukumnya. Dan mereka ini, para preman ini, telah
menetapkan teritorial mereka sendiri. Dan kini ia telah melanggar batas itu. Semua
kabur dan semakin kabur saat perlahan dirasakannya tubuh renta itu luruh ke tanah
sembari mendekap perut yang tembus oleh sebilah pisau. “Merdeka...!” teriaknya
menyambut maut. Merdekalah ia dari siksa dunia...