Daftar Isi [Tampil]
Aku sedih
setiap kali ibu bercerita tentang kisah hidupnya yang pahit. Ia sering kali
berkata bahwa seharusnya aku tak ada di sisinya.
Menyatu dalam hidupnya, menjadi bagian dirinya. Hampir setiap hari aku
merasakan elusan halus tangannya. Membelai aku dari kepala hingga kaki. Dia selalu
lama terdiam dalam sendu. Sesekali mendesah berat. Aku tahu dan paham bahwa
begitu berat beban yang ditanggungnya. Ketika ia mengelusku dengan sejuta
kesedihan maka aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan menggeliat manja. Ingin aku turut menangis tetapi aku
tak punya air mata.
Tidak...,
tidak selalu dengan kasih sayang ia mengelusku. Sesekali, bahkan sering kali ia
justru meremas, memukul-mukul dengan benci. Ia begitu ingin aku mati saat itu.
Kadang ia akan menggoncang-goncang tempatku. Aku hanya bisa mengeluh tanpa
pernah bisa protes. Aku ingin teriak, ‘Jangan
Bu!!!’,
tetapi mulutku belum bisa bicara. Yang bisa aku lalukan hanyalah membalas
usahanya membunuhku dengan geliatan yang terkadang manjur untuk membuat dia menghentikan
perbuatannya. Biasanya setelah itu dia akan menangis pilu. Kembali menceritakan
bahwa aku tak seharusnya ada.
Di lain
waktu ibu mengenang dan menceritakan tentang ayah. Seorang yang belum sekalipun
aku lihat wajahnya, dan tak terbayangkan seperti apa makhkuk yang bergelar
ayah. Kata ibu, aku bisa ada karena ada ayah. Oh, seperti Tuhankah ia? Tidak.
Masih kata ibu, dialah yang menanam benih di rahim ibu hingga aku terwujud dan
muncul di sana.
Di saat
ibu tenang ia akan bercerita kepadaku sambil membelaiku dengan sedih. Dia
selalu bercerita tentang ayah. Dari ceritanya aku bisa membayangkan bahwa
ayahku adalah seorang yang berwajah tampan, gagah, lembut, romantis. Sesekali
ibu tersenyum mengenang ayah.
Ibuku
masih muda, sangat muda. Ia harus berhenti sekolah karena aku. Ya, masih kelas
dua SMA. Kehadiranku saat ini menjadi masalah besar buatnya. Kepala sekolah
memarahinya dan tanpa perasaan langsung menanda tangani surat pemberhentian
untuk ibu. Aku tahu semua yang terjadi karena kemanapun ibu pergi dia selalu
membawaku turut serta. Bagaimana ia harus menganggung cercaan dari rekan
sekolah. Menerima tamparan dari kakek dan nenekku.
Ah, Ibu...
semua menolak kehadiranku bahkan termasuk dirimu. Sekali waktu ibu memberiku
racun-racun agar aku mati saja. Berulangkali hingga rasanya aku pun
putus asa. Tetapi rupanya Tuhan masih belum ingin mencabut nyawaku saat ini.
Aku bahagia karena akan tahu dunia,
tetapi aku selalu menanggung siksaan dari ibuku, meskipun setiap dia
menyiksaku, dia juga yang akan menderita kesakitan.
Terkadang
ibu baik, kadang begitu jahat. Kadang mengelus sayang mengharap kehidupanku,
tetapi lebih sering meremas dan memukulku seraya mendengus, kau harusnya tak
ada disni…
Seandainya
aku bisa bicara maka aku akan menjawab kata-kata ibu. Bukankah ibu sendiri yang
cerita kalau semuanya berawal dari rasa yang ibu katakan sebagai cinta? Dengan
orang yang ibu katakan sebagai ayahku. Yang berwajah tampan dan mempesona.
Gagah sekaligus romantis. Meskipun ibu hanya mengenalnya lewat apa yang ibu
sebut sebagai Facebook, tetapi ibu begitu yakin dia adalah belahan hati ibu. Dari
pertemuan, perbincangan, hingga perjanjian. Lalu bepergian berdua ke
tempat-tempat yang indah. Lalu kata ibu juga bahwa sejak malam itu ibu telah
melakukan yang tidak seharusnya terjadi. Tetapi dengan segala keyakinan, ibu
akhirnya menikmati permainan demi permainan. Hingga akhirnya hadirlah aku yang
membuat ibu bingung. Lebih bingung lagi ketika ternyata ayah tidak mau menerima
kehadiranku. Dia yang semula berjanji akan menemani ibu selamanya, ternyata
hilang tak jelas rimbanya.
Malam
ini aku akan merasakan ruang lain sejak aku berada di sisi ibu. Ruang yang
lebih luas dan tentu indah. Aku juga akan bisa tahu dengan lebih saksama wajah
ibu yang mengandungku. Karena selama ini aku hanya bisa merasakan lembut
tangannya atau kasar pukulannya dari tempat aku berlindung.
Detik
demi detik berdetak, waktu berjalan begitu lambat. Aku mulai merasakan
dorongan-dorongan dan sentakan yang memaksaku keluar dari persembuyian. Perlahan
namun pasti aku menuju pintu utama
untuk melihat dunia. Aku memang belum bisa melihat dan mendengar dengan
sempurna. Tapi aku bisa rasakan bahwa aku sudah di tempat yang bernama dunia.
aku sekarang tahu rasanya bernapas. Sebentar lagi aku akan bisa merasakan
melihat.
Aku
berteriak bahagia. Dunia… aku
datang!!!. Samar-samar aku dengar suara dengus nafas dan tangis ibuku. Aku
belum lagi bisa tahu bagaimana rupa ibu yang melahirkanku ketika sesuatu kurasakan
membungkusku lagi. Sesaat kemudian aku merasa telah berada
dalam ruangan lain. Setelah sesaat menghirup udara dunia, aku rasakan bahwa
tubuhku kembali masuk ruangan gelap, dan udara yang kuhirup semakin hilang. Tak
lama kemudian aku merasa terlempar membentur sesuatu benda keras. Gelap lagi. Pengap
lagi. Napasku hilang. Aku hanya bisa pasrah...
****
Pagi
itu, di sudut pembuangam sampah kota, seorang pemulung terlonjak kaget ketika
menemukan bahwa kardus yang akan diambilnya berisi kantong plastik belepotan
darah. Dengan jantung berdegup kencang ia membuka kantong plastik besar yang
terikat kuat itu. Dan matanya seakan terloncat keluar ketika dari dalamnya
tampak mayat bayi laki-laki mungil telah meringkuk kaku...