Daftar Isi [Tampil]
Ustadz Umar keluar dari rumah Aisyah dengan wajah kusut. Salah satu santri di kelas diniyyah tempatnya mengajar. Mulutnya berulang kali membaca istighfar. Ia tak menyangka akan begini menyakitkan akhirnya. Ihsan mengiringi mustahiqnya itu tanpa kata. Ia paham betapa sakitnya hati Ustadz favoritnya itu. Favorit karena ia bisa telaten dan perhatian kepada setiap anaknya di kelas. Sosok guru yang jadi bapak, pembimbing, sekaligus teman curhat, kadang juga teman cangkru’an bahkan musuh main PS.
“Kang, ayo ke Blimbing
Sari,” kata Ustadz Umar memecahkan kesunyian dan kekusutan hatinya. Ihsan ndomblong.
Kok??
“Ayo, malam ini
sampean tak sewa jadi driver-ku,” ujarnya sambil tersenyum.
Kekusutan hatinya seolah telah lenyap. “Mau main PS juga to?” Ihsan tertawa
lebar mendengar kata-kata itu. PS. Ya, keduanya biasa berduel di game itu. Ihsan
dengan Barca-nya, Ustadz Umar dengan Madrid-nya.
“Monggo
puun.. tanceep!!” seru Ihsan semangat. Sesaat kemudian keaduanya telah
meluncur meninggalkan Srono menuju pantai Blimbing Sari.
***
Aisyah. Gadis
ayu bermata bulat berkulit kuning itu masih terisak di hadapan orang tuanya.
Ibunya terlihat sedih. Ayahnya duduk dengan gelisah sambil menikmati rokok
linting kesukaannya. Bau khas menyebar ke seluruh ruangan.
“Kamu itu piye
to nduk? Wong ditembung ustate kok gak mau...” kata ibunya memecah
keheningan. Aisyah tertunduk semakin dalam.
“Tapi
sebenarnya aku juga kurang mantep dengan gurumu itu, Nduk,” sahut ayah
tiba-tiba. Ibu menoleh mengernyitkan dahi. “Lha jaman sekarang kok cuma bisa
ngaji. Gak punya ijazah sarjana. Wah yo kurang sip to.”
“Bapak itu kok kedunyan
to? Wong orangnya sholeh gitu. Bisa terasa nyaman kita di sampingnya. Kalau
ibu ya cocok saja. Urusan ijazah, sarjana, wong nggak sarjana yo gak bakal
kelaparan. Memangnya Gusti Allah paring rejeki ada syarat kudu
sarjana?” tukasnya cemberut.
Ayah terdiam
menghisap tokoknya dalam-dalam. “Iya.. tapi kan...”
“Halah, wong sampean
gak punya ijazah saja juga bisa naik haji kok. Jangan kedunyan!” potong
ibu. Ayah tertawa sambil geleng-geleng kepala.
“Ya namanya nggak
suka lo Pak, Bu. Aisy gak mau terpaksa. Aisy hanya kagum pada Ustadz Umar. Itu
tok...”
“Lha kalau cuma
kagum kok kemarin liburan mau meladeni sms-an?” protes ayahnya. Aisy tertunduk
malu. “Ngono iku gak apek nduk. Mainin hati orang. Aku ini juga wong
lanang. Apalagi Ustadz itu sudah berumur dan gak punya pengalaman aneh-aneh
sama perempuan. Jadi cepet... opo kui bahasane?”
“PD, GR..”
sahut ibu mencibir ke-ndesoan bapak. Bapak tertawa. Aisy tersenyum geli.
Ia senang kedua orang tuanya tak terlalu memarahinya karena menolak “proposal
cinta” Ustadz Umar.
“PHP....Pemberi
Harapan Palsu...” sahut Anis, adik Aisyah yang dari tadi hanya diam sambil
membaca buku pelajarannya, melihat dan mencibir kakaknya.
Memang benar
adanya. Ia melayani saja PDKT Umar waktu liburan kemarin. Sebenarnya ia serba
salah. Ia kenal Umar dari kebiasaannya datang ke kantor mencari guru badal
ketika kelas kosong. Itu bagian dari tanggung jawabnya sebagai ketua kelas. Dan
kebetulan Umar sering berada di kantor madrasah sekedar santai sambil baca
kitab. Kadang juga nembel kitab. Dari situlah kedekatan mereka berlanjut
hingga liburan maulid. Ia tak menyangka kalau Ustadz Umar akan serius
dengannya. Padahal ia tak pernah memberikan bahasa penerimaan yang shorih.
“Piye Nduk,
kalau nanti aku sowan nggonmu?” tanya Ustadz Umar suatu ketika saat
telponan.
“Nggeh
monggo nek kerso, Tadz..”
Seingatnya
hanya itu bahasanya mempersilahkan sang ustadz datang. Dia tak pernah mengira
kalau Ustadz Umar akan langsung main proposal ke orang tua tanpa tanya-tanya
dulu apakah Aisy menerimanya sebagai calon suami atau tidak. Salah alamat!
Batin Aisy. Yang lebih membuat Aisy kaget, kenapa Ustadz Umar datang bersama
Ihsan? Padahal....
***
“Ayo San!
Jangan mbulet tok!”
“Santai pak! Ki
awas serangan balik!”
Wooo.. gruuk,
wusss klotek klotek tok tok tok tek tek tek klutuk klutuk woooeee. Ooooo...
Begitu ribut
suara Ihsan dan Ustadz Umar berduel PS. Malam itu setelah kelayaban dan
menikmati ikan bakar di Blimbing Sari, Ustadz Umar mengajak Ihsan main PS di
warnet. Ia sengaja menyewa untuk semalam. Tembus subuh. Ia luapkan
kegelisahannya lewat teriakan-teriakan dan ejekan serta tendangan para pemain
di layar monitor. Barca dan Madrid berduel tak kenal lelah.
“Jangkrik!! Kok
malah mbok golne, San?!!” seru Ustadz Umar nampak geram. Ihsan terkejut.
Tak biasanya Ustadznya itu marah kalau kalah. Aduh, efek patah hati nih..
“Yo
sepuntenen Pak! Piye lo...” serunya ketakutan. Setengah tak percaya kalau Ustadz
Umar bisa marah.
“Push Up!! Jagone
gurune kok dikalahke! Nyleding pisan! Phus up!!”
“Enggeh,
enggeh!!” sahut Ihsan segera tengkurap dan
phus up sepuluh kali.
“Huahahahaa... ora-ora
San! Ngono ae tenanan lo!” kata Ustadz Umar tiba-tiba.
“Nah, kan? Gak beneran!” batin Ihsan bersungut-sungut.
Lebih kaget lagi ketika dia lihat ustadznya itu ambil posisi phus up juga. Dua
puluh kali malahan. Ihsan ternganga.
“Iya San, aku
salah nyuruh kamu. Jadi aku harus dihukum dua kali..” kata ustadz setelah usai.
Ihsan kembali terkagum sosok gurunya itu.
“Ayo lanjuuut!
Awas serangan balik!!!” teriak Ustadz Umar garang menyadarkan kekaguman Ihsan.
Sigap ia mengambil stiknya. Kembali berduel dengan mustahiqnya tanpa kenal
lelah.
Ihsan baru tahu
kalau yang diincar Ustadznya itu adalah Aisyah ketika kemarin ia diajak oleh
Ustadz Umar untuk menemani ke rumah Aisyah. Menurut Ustadz Umar, ia telah
begitu dekat dengan seorang santri putri saat liburan kemarin. Bahkan dari
bahasanya, gadis itu siap menerima bila sewaktu-waktu Ustadz Umar datang menemui
orang tuanya dan meminta dirinya kepada mereka. Sebagai ustadz yang terbilang kupelwan
alias kurang pengalaman wanita, Umar sering curhat dan meminta ilmu pengglenikan
kepada Ihsan. Bagaimana ber-sms yang asyik. Bagaiman ber-jaim yang menarik.
Melayani bahasa anak muda dengan kedewasaan. Pernah suatua ketika Ustadz Umar
harus mengirim sms kepadanya karena tak bisa membaca tulisan itu. “ea tdz aisy
mw nyci dl.... 5af ea...” begitu tertulis. “Maaf Tadz, aisy mau nyuci dulu.
Maaf ya..” balas Ihsan kepada Ustadz Umar sambil tersenyum geli. Tapi sejauh
itu ia belum paham kalau Aisy dalam sms Umar adalah Aisyah yang ini.
Ustadz Umar.
Lelaki biasa dengan penampilan sedikit diatas garis minimal. Senior dengan umur
di atas 32 tahun. Baru sekali ini mencoba ikhtiyarnya mencari belahan jiwa
setelah berkesimpulan bahwa dirinya tak memiliki derajat mathlub, mertuo
moro, bojo ayu tanpo rekoso, disuwun tanpo ngoyo, dijodokno kanti
lilo. Tidak. Itu setelah melalui analisis yang tajam dengan catatan sejarah
cintanya yang kosong dan gersang. Jom Ngen bahasa koreanya alias Jomblo Ngenes!
***
“San, jam 4. Udahan.
Ayo ke masjid.” Ustadz Umar bangkit. Ihsan membuntutinya. Hebat, batin Ihsan,
main game semalaman tak mengurangi shalat malamnya.
Ketika jam
dinding masjid menunjukkan pukul 4.45 Wis, belum seorang pun petugas muadzin
yang tampak seperti biasanya. Ustadz Umar mengangkat dagunya kearah Umar, adzano,
begitu kira-kira. Ihsan bangkit tanpa kata mendekati pengeras suara yang dengan
mudah disetel. Sejenak kemudian suara emasnya melengking membelah kesunyian
fajar. Adzan yang berbeda dari biasanya. Suara pria setengah tua yang biasanya menyayat-nyayat
pagi ini digantikan dengan suara emas Ihsan.
Lima menit,
sepuluh menit, lima belas menit. Jamaah mulai berdatangan namun sang imam tak
juga hadir. Seorang takmir mendekati Ustadz Umar, “Monggo Mas...” semula ia
menolak. Namun karena sang takmir itu terus meminta maka Ustadz Umar akhirnya
beranjak juga.
Kali ini suara
serak sang imam tergantikan suara indah dan merdu Ustadz Umar yang melantunkan Fatihah.
Surat Maryam halaman pertama ia lantunkan menjadi dua rakaat Subuh.
“Kaaf Ha Ya
‘Aiiin Shoood... Dzikru rahmati robbika ‘abdahu zakariyya.. Idz naadaa
robbahu nidaa`an khofiyya...”
Mengalun mantap
dan indah mengiringi hati Ustadz Umar yang mengadu pada Sang Penguasa Semesta. Di
barisan shaf wanita, tampak seorang gadis tergesa-gesa menyusul shalat. Sejenak
ia melongok ingin melihat siapa sang pemilik suara merdu itu.
“Indahnya jika
shalatku diimami orang seperti dia Ya Allah,” gumamnya dalam hati meresapi
bacaan Ustadz Umar.
***
Jam tujuh pagi.
Ihsan dan Umar keluar masjid setelah membayar sedikit “zakat mata” setelah
subuhan tadi. Tidur sejenak agar dapat konsentrasi menyetir motor untuk pulang.
“San, sandalku
mana?”
“Lo itu Pak??”
“Bukan.. ini udah
jelek banget. Sandalku gadis mosok ditukar rondo gini..” mereka
tergelak.
Tiba-tiba Ihsan
ingat bahwa tadi setelah jamaah mereka sempat ngobrol dengan takmir yang
meminta Ustadz Umar menjadi imam. Pak Yazid. Orang paruh baya itu terkesan
dengan mereka ketika subuh tadi mengisi kekosongan muadzin dan imam. Mereka
berkenalan dan membicarakan banyak hal. Termasuk status Jom ngen-nya Ustadz Umar.
“Mungkin dia
yang keliru Pak... Tapi mana rumahnya?”
“Oh ya.. ayo,
tadi katanya rumahnya sebelah barat, lima rumah dari masjid.”
***
“Ya ini gubug
kami,” kata Pak Yazid mempersilakan tamunya.
“Rumah megah
begini kok dibilang gubug,” pikir Ihsan.
“Maaf Pak, apa
sandal kita tertukar ya? Nuwun sewu...” kata Ustadz Umar setelah
berbasa-basi.
“Ah, masa to?” Pak
Yazid melihat sandalnya lalu tertawa malu. “Iya ya.. sandalku kan sudah jelek, mosok
tak tukar dengan yang baru..”
Lantas dengan
tergesa ia melepas dan menyodorkan sandal itu dengan hormat. Ustadz Umar jadi salah
tingkah. Ia segera melepas dan menyodorkan sandal butut di kakinya. Kedua orang
itu sama turun dari kursi.
Seorang gadis
berjilbab ungu muncul membawa nampan berisi tiga gelas teh hangat. Mata
beningnya sempat terpaku melihat Ustadz Umar yang jadi tamu ayahnya. Bahkan
keduanya sempat bertatapan. Deg! Hati Ustadz Umar. Astaghfirullah,
bisiknya lantas memalingkan pandangan. Gadis itu menyuguhkan minuman dengan
gemetar. Badannya terasa demam setelah bertatap mata dengan pria yang tadi ia
lihat menjadi imam itu.
“Ehm... ini
Zainab Kang, anak gadis saya satu-satunya...” kata Pak Yazid tiba-tiba. Gadis
itu semakin salah tingkah. Apalagi ketika sang ayah menarik lengannya menyuruh
duduk. Ustadz Umar panas dingin tiba-tiba. Ihsan menunduk menyembunyikan senyum
geli sekaligus kagum. Geli dengan tingkah Ustadznya, kagum akan kecantikan Zainab.
Aisyah tak ada seujung kukunya dibanding gadis itu.
“Baru selesai
mondok dari Mbah Arwani, Kudus. Alhamdulillah sudah selesai tahfidznya. Ya apa
isyarat apa gimana, saya kok punya pikiran, dengan tertukarnya sandal itu,
menandakan sampean adalah jodoh untuk anak saya ini, itupun kalau
sampean tidak keberatan. Keluarga kami.. bla bla bla blekutuk blekutuk tuk tek
tok....” Penjelasan itu tak jelas di telinga Umar. Pikirannya terlintas dengan
mata bening dan lesung di pipi Zainab. Ditambah keindahan anak rambut yang
nakal melambai di sudut jilbabnya.
“Iiih..Ayah.....”
rengek Zainab manja dan mencubit tangan ayahnya. Malu diobral seperti itu oleh
ayahnya. Tapi sebenarnya sih...
Ustadz Umar
menatap Ihsan yang tertunduk senyum-senyum. Ihsan tetap tersenyum membalas
tatapan gurunya lantas mengangkat dua jempolnya, “Jos gandos!!” begitu
biasanya dia bilang. Lantas ia mengayunkan lengan kanannya pelan seperti tinju,
“Antem wees!!” Ustadz Umar mengangguk-angguk. Ia menarik napas panjang,
menghembuskannya, mengangkat kepala menatap Pak Yazid yang diam menanti.
Melirik Zainab yang merona dan tertunduk dalam-dalam memainkan ujung jilbabnya.
***
Dua minggu
kemudian. Rumah Pak Yazid ramai. Tenda besar terpasang. Suara orang membaca al-Qur’an
bil hifdzi terdengar lantang. Cepat berirama. Wes wes wes tapi jelas. Ihsan
terkantuk-kantuk menyimak bacaan Ustadz Umar. Beberapa teman kelasnya juga ikut
menyimak. Sejak tadi malam mereka memulai khataman itu. Menginap di masjid.
Waktu
menunjukkan pukul 16.30 ketika dengan lantang Ustadz Umar mengucapkan qabul...
“Qobiltu
nikahaha wa tazwijahaa, Zainab binti Yazid Mubarok bi mahri khatmil Qur’an tsalatsiina
juz`an bilhifdzi haalan....!!
Ustadz Umar
resmi menjadi menantu Pak Yazid sang takmir masjid. Lantunan doa para Kyai Blokagung
menaungi bahtera rumah tangga Ustadz Umar dan Zainab. Ustadz Umar duduk di
pelaminan dengan sisa keletihan. Entah nanti malam ia masih kuat “khataman”
atau tidak.
***
Ihsan
termenung. Galau. Ia bingung. Haruskah ia meneruskan hubungan ke tingkat serius
dengan seorang yang ia tahu telah begitu tega mempermainkan hati lugu seorang Umar.
Apakah dia mampu membimbing jiwa yang menurut penilaiannya adalah golongan
jiwa-jiwa liar itu. Ia tak rela melihat betapa ustadz kesayangannya itu jatuh
bangun. Sms di hp-nya masih terbuka. Ia baca berulang kali....
“Mz, ust umr dh
nkh. Sgra lmr aisy k ortu aisy ea....”
Ihsan sadar
cintanya begitu kuat. Namun ia juga sadar kalau Aisyah telah menyakiti gurunya,
meskipun terlihat guru itu biasa saja. Tapi bukankah di balik kata Aku Ra Po
Po tersimpan kata “Aku Porak Poranda?” Terlebih kenapa Aisy melayani dia
dan ustadznya?
Dengan mata
menajam, geraham mengeras, Ihsan membalas sms itu...
“Aisyah... Aku tak
mau menjadi orang kesekian yang melukai perasaan orang yang paling
kuhormati.... maaf... Lo, Gue....end....titik. Wassalam.
Ihsan membaringkan
tubuhnya di lantai musholla seraya memejamkan matanya yang tiba-tiba
berair.....
@@@
apik pak :3
Terima kasih, Nizam... :)