Daftar Isi [Tampil]
Karena keluguannya, Afkar hanya bisa menahan perasaan sukanya kepada salah satu teman sekelas, Nafis. Selama setahun dia menahan diri dan menjalani kungkungan rindunya. Hingga hal itu mencapai puncaknya saat-saat menjelang UAN Tingkat SMP dan Sederajat. Hal itu membuatnya memberanikan diri untuk menulis surat kepada Nafis, sang bunga hatinya.
Di luar dugaan
ternyata Nafis juga memendam perasaan yang sama bahkan sejak di kelas II MTs.
Kebon Duren, sekolah mereka. Rasa hati Afkar mendapat sambutan bahagia. Balasan
surat dari Nafis mengantarkannya ke pertamanan bunga rindu.
Namun itu hanya
sesaat, karena keduanya memang harus berpisah untuk menempuh pendidikan
masing-masing. Afkar menekuni ilmu keislaman di Pesantren Al-Falah, sedang
Nafis mondok di Nurush Sholah, Jember.
Keduanya sama-sama tak tahu pesantren masing-masing. Enam tahun keduanya
menjalani “hubungan” tanpa komunikasi. Hanya saling percaya dan memegang janji
masing-masing.
Tibalah bulan Ramadhan
yang mempertemukan keduanya di pesantren Al-Falah tempat Afkar menimba ilmu.
Bahagia bertiup membelai kedua jiwa yang lama dilanda cinta. Pertemuan Afkar
dengan Nafis suatu siang di kantor pesantren putri membuat keduanya kembali
merasakan getar-getar cinta seperti beberapa tahun yang lalu.
Namun indahnya
pertemuan itu tidak berlangsung lama. Ternyata orang tua Nafis yang merupakan
pengasuh salah satu pesantren mempunyai tujuan lain sehingga menitipkan Nafis di
Al-Falah saat Ramadhan ini. Sang kyai berniat mencarikan pendamping untuk
nafis. Keberadaan nafis di Al-Falah tak lepas dari isyarat yang diperoleh Kyai
Muslih, ayahnya, ketika melakukan istikharah. Jadilah Nafis bulan Ramdhan itu
dititipkan di Al-Falah. Kyai Mahmud yang masih merupakan teman Kyai Muslih ketika
dulu sama-sama mondok bersedia membantu Kyai Muslih menemukan menantunya.
Memilih seorang
imam bagi nahkoda kehidupan seorang wanita sekaligus melanjutkan kelangsungan
sebuah pesanrten bukanlah hal sepele.
Maka Kyai mahmud melakukan istikharah. Pilihan hati sang kyai tertuju antara
Afkar dan sahabatnya yang masih ada hubungan kekeluargaan dengan Kyai Mahmud,
Adib. Ini semua karena putra-putra Kyai Mahmud masih lebih muda ketimbang Nafis,
sehingga ia tidak menyertakan putranya dalam pertimbangan itu.
Sungguh tak
disangka, ternyata Kyai Mahmud yang sebenarnya secara pribadi condong kepada
afkar akhirnya harus memutuskan hal lain. Berdasarkan kemantapan hati setelah
memohon petunjuk, Kyai Mahmud akhirnya memilih Adib untuk memenuhi “pesanan” Kyai
Muslih.
Merupakan
pukulan telak bagi mereka bertiga, Adib, Afkar, dan Nafis. Bagaimanakah Nafis yang
lama memelihara rasa bersama Afkar, harus bersanding dengan Adib yang justru
sahabat Afkar? Terguncanglah jiwa Afkar. Nafis berduka. Adib merasa bersalah.
Dalam kegelapan
jiwa yang dirundung lara, Afkar suatu malam pergi dari pesantren mengikuti
langkah kakinya berlari menembus gelapnya malam dalam guyuran hujan dan gelegar
petir dan halilintar. Minggat.
Di sisi lain Kyai
Mahmud dan Kyai Muslih berusaha meluluhkan hati Adib dan Nafis. Dengan berbagai
penjelasan dan nasehat akhirnya kedua insan itu mencoba menerima dan menjalani
keputusan para orang tua.
“…..Cinta sejati
itu terkadang juga bukan menjadi jodoh kita. Tetapi ada juga yang mengatakan
bahwa cinta sejati adalah cinta yang diberikan hanya untuk suami.” Demikian
sebagaian perkataan Kyai Mahmud kepada Nafis.
“Kecuali sampeyan
rela aku serahkan pesantren ini kepada Adib dan istrinya kelak dan sampeyan
aku nikahkan dengan Afkar, karena menurut isyarat dan kemantapan hati Kyai
Mahmud juga, Adiblah yang layak meneruskan pesantren ini,” kata Kyai Muslih
yang begitu telak membuat hati gadis itu tak bisa menolak untuk menerima
“Pilihan Tuhan.” Pada akhirnya Nafis dan Adib mencoba untuk menerima cinta
sejati yang harus mereka jalin dari titik hampa.
Sementara Afkar
setelah mendapatkan pencerahan dari seorang tua yang ditemuinya, Mbah Manshur. Akhirnya
bisa menerima kenyataan. Tetapi luka tetaplah luka. Tak mampu ia menjalani
hari-hari bersama Adib kembali. Akhirnya ia memilih untuk kembali meneruskan
belajar ke Jawa. Mondok lagi. Setelah menyelesaikan segala urusan dengan Kyai Mahmud
dan Adib, berangkatlah Afkar membawa sisa luka hatinya untuk menggapai
cita-cita di tanah seberang.
“Selamat
tinggal cinta, selamat tinggal luka. Selamat tinggal Bakauheni selamat tinggal
Sang Bumi Ruwa Jurai. Setumpuk luka lara akan aku ubah menjadi segudang pupuk
penyemangat jiwa meraih setinggi-tinggi asa.”
Penerbit: Star Production
Buku pertama dari Dwilogi "The Love For Ning"
Tebal :232 halaman
Harga : 40.000
Sementara hanya melayani pesanan. Silakan hubungi : 082336086030 (sms)
keren Pak