Daftar Isi [Tampil]
“Jama’ah itu
harus memenuhi shaf di depannya,” kata Pak Azis sambil mendorong seorang santri
untuk mengisi barisan jamaah di depannya yang masih lowong.
“Nggak, saya
istiqomahnya di sini kok,” jawab si santri ngeyel.
“Istiqomah itu
jamaahnya, kalau namanya jamaah ya harus memenuhi shaf,” Pak Azis agak gusar.
Itulah kurang
lebih perdebatan kecil yang saya dengar saat jamaah magrib beberapa waktu lalu.
Saya ingin bertanya manakah yang tepat? Istiqomah itu apakah harus menempat di
satu tempat tak mau pindah ke barisan jamaah di depannya ataukah berjamaah itu
yang harus istiqomah?
Inilah yang
sering jadi salah kaprah dan bubrah di kalangan santri. Pernah salah seorang teman
saya meminta teman yang menempati tempat ia biasa berjamaah karena menganggap
itulah tempatnya beristiqomah. Hem, hebat ya? Lalu sebenarnya apa sih istiqomah
itu?
Menurut
al-Jurjani dalam at-Ta’rifat, “al-Istiqomah” menurut istilah adalah menepati
segala janji, menempuh jalan kebenaran dengan tetap menjaga sisi keseimbangan
dalam segala hal, dari mulai makanan, minuman dan pakaian, hingga perkara
keduniaan dan keagamaan. Isitiqomah juga merupakan perpaduan antara menjauhi
ma’siyat dan menjalankan taat. Ada juga yang mengartikan istiqomah sebagai
perjalanan ibadah seorang hamba dalam bimbingan syari’at dan logika serta
kelanggengan atau kontinuitas dari perbuatan itu.
Jadi, istiqomah
adalah sebuah sikap dan tindakan. Bukan suatu pilihan untuk menetap pada suatu
tindakan tanpa adanya peningkatan. Maka seperti kata Ust. Abdul Aziz tadi,
bahwa kalau jamah itu memang harus memnuhi shaf depan terlebih dahulu. Bisa
saya tambahi bahwa yang harus istiqomah itu shalat jamaahnya, kalau tempat itu
adalah usaha menambah nilai dari keistiqomahan berjamaah. Jelas?
Terlebih lagi
dalam shalat jamaah memang keutamaan terletak di shaf terdepan sehingga dalam
satu riwayat dijelaskan bahwa seandainya orang-orang tahu keutamaan shaf awal,
niscaya mreka akan berebut menempatinya. Begitu pula ditekankan untuk
merapatkan dan mengisi kekosongan diantara shaf. Bahkan ada yang berpendapat,
pahala jamaah yang 27 derajat itu bisa hangus kalau seseorang membiarkan
barisan didepannya lowong.
Fenomena
lainnya yang saya singgung di atas juga salah bubrah yang terjadi diantara
santri yang pateng jamaah. Menyuruh seseorang yang menempati “maqam” nya untuk
pindah. Hem.. masjid itu tempat umum bro. Bahkan haram hukumnya menggelar
sajadah dengan tujuan agar tempat itu tidak ditempati orang lain, bila tidak
segera ditempati. Karena buletin kita ini buletin yang untuk refreshing ya
nggak perlu saya kutipkan ta’bir lah..
Meletakkan
sajadah agar tidak didahului tempatnya duduk atau berjamaah itu tergolong
ihshor/mengkapling, mengambil hak umum untuk pribadi. Tidak ada yang lebih
berhak menempati suatu tempat di masjid. Siapa datang dahulu, dia berhak di
depan. Kecuali pengimamam tentunya. Nanti kalau pengimaman anda tempati terus
Kyai menempat di mana? Di baratnya pengimaman?
Lalu sikap menetapi
satu keadaan tanpa mau melakukan peningkatan itu mah bukan istiqomah. Apa ya
namanya? Coba saja dilogika. Shaf itu bertingkat keutamaannya dari yang
terdepan sebagai derajat tertinggi. Nah, kalau sudah istiqomah berjamaahnya,
ditawari derajat dan pahala yang setingkat lebih tinggi terus menolak, itu namanya
****K.
Yo wes lah! Apapun
bentuknya, pokok mau shalat jamaah. Okeee?